Kamis, 21 Januari 2016

Sikap Pekerja dan Kepuasan Pekerja (14)

1         1. Hubungan pelaksanaan kerja dan kepuasan kerja

Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah sampai kuat. Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja menurut Kreitner dan Kinicki.
Beberapa korelasi kepuasan kerja antara lain:
1.      Motivasi
Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja. 
2.      Pelibatan Kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan untuk meningkatkan keterlibatan kerja pekerja.
3.      Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
4.      Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang sifnifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja.
5.      Ketidakhadiran (absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6.      Perputaran (turn over)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.
 7.      Perasaan Stress
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.
 8.        Prestasi kerja
              Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Sementara itu menurut Gibson menggambarkan hubungan timbal balik antara kepuasan dan kinerja. Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.

      2.  Cara mencegah dan mengatasi ketidakpuasaan kerja
Ketidakpuasan adalah salah satu hal yang sangat menghambat seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan apalagi para pekerja yang berjuang mati-matian dalam meningkatkan prestasi kerjanya tapi harus menerima kenyataan kalau dia belum bisa berhasil. Selain itu juga , faktor-faktor di sekitarnya yang kurang mendukung mereka untuk meningkatkan prestasi mereka. Ada beberapa hal yang dapat mencegah agar ketidakpuasaan kerja bisa dihindari, yakni :
1.      Memberikan sedikit pekerjaan yag menantang agar bisa mengasah skill yang dimiliki dan skill tersebut dapat dikembangkan.
2.      Atasan yang baik dan mengerti keluhan dari bawahan merupakan hal yang penting akan hasil pekerjaa yang memuaskan.
3.      Teman sekerja (workers) merupaka faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lainnya.
4.      Promosi kenaikan jabatan
5.      Gaji atau upah kerja



Daftar Pustaka:
Bernadin, H.J, 7 Russel, J.E.A. 1993. Human Resource Management, An Experimental Approach. International Edition. New York : McGraw Hill Book Company, Inc.
Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.
Hadipranata, A.F. 1996. Produktivitas Insani (human Productivity). Buletin Psikologi IV. No. 2. Yogyakarta : Edisis Khusus Ulang Tahun XXXII.
Moeljono, D. (2006). Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: PT Gramedia.
Tangkilisan, H, N, S. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo.



Jumat, 15 Januari 2016

Sikap Pekerja dan Kepuasan Pekerja (13)


Kepuasan kerja adalah sikap atau perasaan seseorang terhadap suatu pekerjaan. Berarti kepuasan kerja seseorang tergantung pada bagaimana penilaian (persepsi) individy yang bersangkutan terhadap pekerjaannya. Penilaian tersebut bersifat individual, artinya antara individu yang satu dengan lainnya berbeda.

Teori-teori Kepuasan Kerja
Menurut Dariyo (2008) terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang kepuasan kerja, yaitu:
1.      Teori Diskrepansi atau Teori Nilai (Teori Kesenjangan)
Kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh sejauh mana hitungan antara apa yang diharapkan (das sollen) dan kenyataan yang dirasakannya (das sein). Individu akan merasakan kepuasan dalam bekerja bila tidak ada perbedaan yang berarti antara yang diinginkan dengan hasil yang dirasakan karena batas minimalnya telah terpenuhi dengan baik. Bila ternyata apa yang diperoleh lebih besar daripada yang diharapkan, individu bisa merasakan kepuasan. Akan tetapi, bagi tipe orang yang tergolong moralis yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemungkinan justru hal itu tidak menimbulkan kepuasan.
Contoh Jaka, seorang sarjana baru (S-2) lulusan magister manajemen dari sebuah universitas terkenal di Jakarta. Ketika pertama kali ingin bekerja di sebuah perusahaan swasta, ia berharap memperoleh penghasilan sebesar lima juta rupiah (Rp5.000.000) per bulan. Ternyata impian tersebut menjadi kenyataan. Ia diterima pada perusahaan asing yang memberi gaji tujuh juta lima ratus ribu rupiah (Rp7.500.000) untuk bekerja sebagai seorang supervisor bidang sumber daya manusia. Maka, Jaka telah merasakan kepuasan kerja.
2.      Teori Keadilan (Equity Theory)
Kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya rasa keadilan yang diterima dalam kenyataan. Perasaan adil atau tidak adil atas situasi yang dihadapi akan diperoleh melalui perbandingan antara dirinya dengan orang lain yang setaraf, sekantor atau di tempat lain. Elemen teori ini meliputi (a) input, (b) output, dan (c) perbandingan antarorang satu dan yang lainnya.
3.      Teori Dua Faktor
Merupakan teori yang menyatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh dua faktor, yakni higienis dan motivasi. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg, yang menyimpulkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan bergantung pada faktor higienis, seperti kondisi tempat kerja, dan faktor motivasi, seperti pengakuan atas pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik. Faktor kebersihan seperti kondisi lingkungan kerja dan kebijakan perusahaan dapat memengaruhi ketidakpuasan pekerja. Di sisi lain, faktor motivator seperti kesempatan untuk berprestasi dan penghargaan dapat memengaruhi kepuasan pekerja.

Determinan Sikap Kerja
1. Menurut para tokoh :
a.       Gibson (1997), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
b.      Sada (2000), adalah tindakan yang akan diambil karyawan dan segala sesuatu yang harus dilakukan karyawan tersebut yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan.

2.      Sikap yang positif :
a.       Kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok akan memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-orang secara individual.
b.      Rasa memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya tjuan perusahaan.
c.       Hubungan antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman sekerja.
d.      Suka terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.

Sikap kerja dapat dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak. Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik, pekerjaan akan berjalan lancar. Jika tidak berarti akan mengalami kesulitan. Tetapi, bukan berarti adanya kesulitan karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi dalam hubungan antara karyawan yang akibatnya sikap kerjanya diabaikan. Sikap kerja mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif.


Pengukuran Sikap Kerja
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983) Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.
Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :
1.      Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan.
2.      Supervise
3.      Organisasi dan manajemen
4.      Kesempatan untuk maju
5.      Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
6.      Rekan kerja
7.      Kondisi pekerjaan



Daftar Pustaka:
Dariyo, A. (2008). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, Jr., J.H., 1990, Organisasi: Perilaku,
Struktur, Proses (Terj.), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogjakarta: BPFE .

Kreitner, Robert & Kinicki., Anggelo. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba
Empat.

Robbins, Stephen. P. (2006). Perilaku organisasi, edisi Bahasa Indonesia. Klaten: PT INTAN SEJATI.

Soegoto, E. S. (2009). Enterpreneurship menjadi pebisnis ulung. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Robbins, Stephen. P. (2006). Perilaku organisasi, edisi Bahasa Indonesia. Klaten: PT INTAN SEJATI.


Kamis, 07 Januari 2016

Pengertian Job Enrichment (12)

Job Enrichment

1.      Pengertian Job Enrichment
Job enrichment didefinisikan sebagai cara untuk memotivasi karyawan dengan memberikan mereka tanggung jawab lebih dan variasi dalam pekerjaan mereka (Hezberg. F, 1950). Teori motivasi Herzberg menjelaskan bahwa untuk memotivasi karyawan, pekerjaan perlu diperkaya (enriched ) sehingga memberi kesempatan untuk mendapatkan penghargaan (achievement ), pengakuan(recognition), tanggung jawab (responsibility), kemajuan (advancement ),dan pertumbuhan (growth).
Job enrichment merupakan kombinasi beberapa aktifitas dari penampang vertikal dari organisasi menjadi satu pekerjaan unt-uk memfasilitasi karyawan dengan tanggung jawab dan otonomi lebih, serta peningkatan kerja yang lebih mendalam tentunya dengan menerapkan unsur-unsur manajemen. Ide ini digunakan untuk mengembangkan pengalaman akuntabilitas yang kuat dengan mengijinkan mereka mengatur jam kerjanya, mengoreksi kesalahannya, danmemutuskan jalan terbaik untuk menjalankan berbagai tugas.

2.      Langkah-langkah dalam redesign pekerjaan untuk job enrichment

a.       Menggabungkan beberapa pekerjaan menjadi satu.
1)      Menjadi lebih besar
2)      Lebih bervariasi
3)      Kecakapan lebih luas

b.      Memberikan modul kerja untuk setiap pekerja.

c.       Memberikan kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat bertanggung jawab.
1)      Kesempatan mengatur prosedur kerja sendiri

d.      Memberikan kesempatan pekerja menghubungi kliennya sendiri secara langsung.
1)      Orang – orang yang berhubungan dengan pelaksanaan kerjanya.

e.       Menciptakan sarana – sarana umpan balik.
1)      Pekerja dapat memonitor koreksi diri.





3.      Pertimbangan-pertimbangan dalam Job Enrichment

a.   Jika pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan meningkat.
b.    Absensi – absensi dan perpindahan kerja akan berkurang.
c.    Dimensi inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman dan Oldham ), yaitu:

1)      Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik untuk melakukan pencatatan penjualan.

2)      Jati diri tugas (task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri.

3)      Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini. (tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan).

d.      Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri waktu kerja dan waktu istirahat.
e.     Umpan balik (feed back)
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan. Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang yang dijual, pelayanan, dll. Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir positif.





DAFTAR PUSTAKA
Antonioni, D., 1996. Designing an effective 360-degree appraisal feedback process,     Organizational Dynamics, Autumn
Baron, R.A., & Greenberg, J., 1996. Behavior in Organizations 3rd ed. Boston, M.A., : Allyn dan Bacon (A Division of & Schuster, Inc).
Dessler, Gary. 2001. Manajemen Personalia Teknik dan Konsep Modern. Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.


Sabtu, 02 Januari 2016

Teori motivasi 10

  1. Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut.. Maslow membuat tingkatan kebutuhan manusia menjadi lima karakteristik. sebagai berikut:
a)      Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini
b)      Kebutuhan akan rasa aman
Setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan. Untuk pribadi yang sehat, kebutuhan rasa aman tidak berlebih-lebihan atau selalu mendesak. Kebanyakan diantara kita ini tidak menyerah atau sama sekali tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan rasa aman, tetapi dalam pada itu juga kita merasa tidak puas kalau jaminan dan stabilitas sama sekali tidak ada.
c)      Kebutuhan sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini,belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya seorang sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Maslow percaya bahwa makin lama makin sulit memuaskan kebutuhan akan memiliki dan cinta kerena mobilitas kita.begitu sering kita berganti rumah, tetangga, kota, bahkan pathner, sehingga kita tidak dapat berakar. Kita tidak cukup lama berada disuatu tempat untuk mengembangkan perasaan yang memiliki. Banyak orang dewasa merasakan kesepian dan terisolasi, meskipum mereka hidup ditengah-tengah orang banyak.
     d )Kebutuhan akan penghargaan
Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhpustaka hal-hal itu telah terpuaskan.
Kebutuhan akan aktualisasi diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk tumbuh berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut oleh Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima.
Konsep yang mendasar bagi teori maslow adalah manusia di motivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis atau naluriah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak semata-mata bersifat fisiologis



Daftar pustaka:
Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Kehidupan Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.
2. Corey, G. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama
3. Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model – model kepribadian yang sehat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius