Sabtu, 28 November 2015

MOTIVASI (9)

c. Teori Harapan
            Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
             Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229)
Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan 2001:165).
              Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu
1. harapan (expentancy)
2. nilai (Valence)
3. pertautan (Inatrumentality)
• Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku .Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian
• Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu
• Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1 yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat ke dua.
Teori ini termasuk kedalam Teori – Teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957) yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan (path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana (Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena nilainya yang positif bagi organisasi.
d. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke berpendapat bahwa maksud-maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahukan karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya akan dihabiskan.
Lebih tepatnya teori penetapan tujuan mengenal bahwa tujuan yang khusus dan sulit menghantar kepada kinerja yang lebih tinggi. Menurut Berry (1998) lima komponen dasar tujuan untuk meningkatkan tingkat motivasi karyawan, yaitu: (1) tujuan harus jelas (misalnya jumlah unit yang harus diselesaikan dalam satu jam), (2) tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan menengah sampai tinggi, (3) karyawan harus menerima tujuan itu, (4) karyawan harus menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai tujuan tersebut, (5) tujuan yang ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang ditentukan begitu saja.



Daftar Pustaka:

Anoraga, S & Suyati, S.1995. Psikologi Industri dan Sosial. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

As’ad, M. 2004. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Edisi Ke-empat

Berry, M.L. 1998. Psychology at Work: an Introduction to Industri and Organizational Psychology. McGraw-Hill Book Co. Boston.

Jewell & Siegall. 1998. Contemporary Industrial/Organizational Psychology. Dialih Bahasakan oleh Danuyasa. Psikologi Industri/Organisasi Modern; Psikologi Terapan untuk Mememecahkan Berbagai masalah di tempat Kerja, Perusahaan, Industri, dan Organisasi.

Kreitner & Kinicki. 2004. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill Companies, Inc.

Luthans, F. 1992. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill International Book Co-Singapore.


Kamis, 19 November 2015

MOTIVASI (8)

1.     MOTIVASI
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Gray (dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987) mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut(goals or ends of such behavior). McDonald (dalam Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula (Suprihanto dkk, 2003).

2. TEORI DRIVE (TEORI REINFORCEMENT )
             Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Demikian juga prinsip hukuman (Punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat. Contoh : pengukuhan yang relatif malar adalah mendapatkan pujian setelah seseorang memproduksi tiap-tiap unit atau setiap hari disambut dengan hangat oleh manajer.

A. Pengertian Teori Drive
                   Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
• Suatu keadaan yang mendorong
• Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong
• Pencapaian tujuan yang memadai
• Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai
Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Be berapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.

B.Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
                     Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban –jawaban yang benar dan aturan pokok lain yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pengukuran dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang didinginkan ) atau negatif ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang didinginkan telah diberikan ), tetapi organisme harus membuat antara akasi atau tindakannya dengan sebab akibat.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.

Daftar Pustaka:
As’ad, Moh, 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Winardi, 1992. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soemanto, Wasty, 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bina Aksara.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas        Indonesia.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya     Paramita.
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.


Jumat, 13 November 2015

Teori-teori Leadership (7)

Teori-teori Leadership

Modern choice approach to participation
Beberapa orang dalam hidupnya mengenal banyak orang, tetapi hanya sedikit teman sejati. Teman sejati akan didapat dengan ketulusan hati, kepribadian serta rasa tanggung jawab bukan dari kesempatan, nasib baik ataupun dari potensi duniawi. Seorang  berkepribadian ekstrover mungkin mempunyai peluang untuk mengenal banyak orang karena mereka lebih berorientasi ke dunia luar.
Dalam suatu pekerjaan terutama yang menuntut team work/ kelompok kerja didalamnya harus saling sejalan, sependapat atau mungkin juga satu karakter yang sama, walaupun dengan banyak ide yang berbeda tetapi tetap satu. Disini pemimpin dalam team work itu harus cerdas dan cermat, dalam pengambilan keputusan, membuat suasana salalu hidup dan bervariatif agar bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Team work ini bisa kita temukan dalam pekerjaan seperti, entertainment, peneliti, konsultan / pengacara, dan yang lainnya.
 
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Contingency theory of Leadership dari Feidler 
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership(menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

 Path Goal Theory 
 MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikur, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).


Dasar dari path goal adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara usaha –kinerja-imbalan.
Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi.



Daftar Pustaka :


Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY
Nasikun. (1993). Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sarwono, sarlito W. (2005). Psikologi social (psikologi kelompok dan psikologi terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Leavitt, J.H., 1992 Psikologi Manajemen, Alih Bahasa Zarkasi, M., Jakarta: Penerbit Erlangga 
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Irianto, Anton. (2005). Born to win. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Kamis, 05 November 2015

Teori-teori Leadership (6)

Teori-teori Leadership

-                      Definisi Leadership
Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan.

     -          Teori-teori kepemimpinan partipatif
a.    Teori X dan Teori Y dari Douglas MX Gregor
Douglas McGregor menyatakan bahwa ada 2 pandangan tentang manusia, yang pertama pada dasarnya negative-Teori X adalah orang yang malas, yang harus dipaksa untuk bekerja, yang tidak mau dibebani tanggung jawab, dan yang kedua pada dasarnya positif-Teori Y adalah orang yang suka bekerja dan senang dapat tanggung jawab. McGregor berkesimpulan bahwa pandangan seorang manajer tentang sifat manusia didasarkan atas pengelompokkan asumsi tertentu dan bahwa manusia cenderung untuk menyesuaikan perilakunya terhadap bawahan sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut.

b.   Teori System 4 dari Resis dan Likert
Gaya Kepemimpinan yang berlandaskan pada hubungan antara manusia melalui hasil produksi dari sudut pandang manajemen yang kemudian dikenal dengan Four Systems Theory. Empat Sistem Kepemimpinan menurut Likert tersebut antara lain :
1.       Sistem Otokratis Eksploitif
Pada sistem Otokratis Eksploitif ini, pemimpin membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh pemimpin. Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah terhadap bawahannya, memotivasi bawahan melalui ancaman atau hukuman. Komunikasi yang dilakukan satu arah ke bawah (top-down).
Ciri-ciri sistem otokratis eksploitif ini antara lain:
a. Pimpinan menentukan keputusan
b. Pimpinan menentukan standar pekerjaan
c. Pimpinan menerapkan ancaman dan hukuman
d. Komunikasi top down

2.      Sistem Otokratis Paternalistic
Pada sistem ini, Pemimpin tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. Berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Pemimpin mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu, memotivasi bawahan dengan ancaman atau hukuman tetapi tidak selalu dan memperbolehkan komunikasi ke atas. Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan wewenang, meskipun dalam pengambilan keputusan masih melakukan pengawasan yang ketat.
Ciri-ciri dri sistem Otokratis Paternalistic atau Otoriter Bijak, antara lain:
a. Pimpinan percaya pada bawahan
b. Motivasi dengan hadiah dan hukuman
c. Adanya komunikasi ke atas
d. Mendengarkan pendapat dan ide bawahan
e. Adanya delegasi wewenang
3.      Sistem Konsultatif
Pada sistem ini, Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan-keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.
Pemimpin mempunyai kekuasaan terhadap bawahan yang cukup besar. Pemimpin menggunakan balasan (insentif) untuk memotivasi bawahan dan kadang-kadang menggunakan ancaman atau hukuman. Komunikasi dua arah dan menerima keputusan spesifik yang dibuat oleh bawahan.
Ciri-ciri Sistem konsultatif antara lain:
a. Komunikasi dua arah
b. Pimpinan mempunyai kepercayaan pada bawahan
c. Pembuatan keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat atas
4.      Sistem Partisipatif
Sistem partisipatif adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila pemimpin secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, pemimpin tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting. Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahan, menggunakan insentif ekonomi untuk memotivasi bawahan. Komunikasi dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.
Ciri-ciri Sistem Partisipatif antara lain:
a. Team work
b. Adanya keterbukaan dan kepercayaan pada bawahan
c. Komunikasi dua arah (top down and bottom up)

c.    Theory of leadership pattern choice dari Tennembaum dan Scmiat
Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Pola kepemimpinan ditandai dengan angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip dengan gaya kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan proses pengambilan keputusan.
Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan.
Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin.
Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.
Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”
Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik.
Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin membuat keputusan.”
Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.
Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”
Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.
Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.”
Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
Kepemimpinan Pola 6: “Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”
Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 7: “Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.”
Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak, dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim.


Daftar Pustaka:
Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY
Nasikun. (1993). Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sarwono, sarlito W. (2005). Psikologi social (psikologi kelompok dan psikologi terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., dan Matteson, M. T. (2007). Perilaku dan Manajemen      Organisasi. Edisi ketujuh. Jilid 2. Diterjemahkan oleh: Dharma Yuwono, S.Psi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
 Robbins, S. P. (1996). Perilaku Organisasi: Konsep, Kontrovesi, Aplikasi. Jilid 2.   Diterjemahkan oleh: Dr. Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo.
Wahjono, S. I. (2010). Perilaku Organisasi.Yogyakarta: Graha Ilmu.


Jumat, 30 Oktober 2015

Kekuasaan (5)

1.   Definisi Kekuasaan
Kekuasaan (power) menurut Wahjono (2010) adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh pada orang lain dengan tujuan mengubah sikap atau tingkah laku individual atau kelompok dalam organisasi. Menurut Yuki dan Wexley (2005) kekuasaan (power) dapat didefinisikan sebagai kapasitas mempengaruhi perilaku orang lain. Seseorang mempunyai kekuasaan sepanjang terus dapat mempengaruhi tak peduli apakah usaha-usaha dilakukan itu benar-benar mempunyai pengaruh. Menurut Robbins (1996) kekuasaan (power) mengacu pada suatu kapasitas yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B, sehingga B melakukan sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan.


2.    Sumber-sumber Kekuasaan
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007) ada dua kategori kekuasaan dalam organisasi yaitu kekuasaan interpersonal dan struktural.  Dalam setiap kategori terdapat beberapa sumber kekuasaan yang spesifik.
a.    Kekuasaan Interpersonal
Dalam sebuah karya klasik mengenai manajemen dan perilaku organisasi, John French dan Bertram Raven mengajukan 5 sumber interpersonal  dari kekuasaan:
1) Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power). Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain karena posisinya dalam organisasi. Kekuasaan legitimasi, atau sering juga disebut kekuataan posisi berasal dari jabatan yang diduduki orang tersebut. Artinya, organisasi mengizinkan individu yang memegang jabatan tertentu untuk mempengaruhi dan memerintah individu-individu lainnya. Kekuasaan formal inilah yang kita sebut sebagai otoritas (otority).
2) Kekuasaan Imbalan (Reward Power). Kekuasaan yang didasarkan pada kemampuan seseorang untuk memberikan imbalan pada pengikutnya yang menaati perintah. Kekuasaan imbalan digunakan untuk mendukung penggunaan kekuasaan legitimasi. Bila para bawahan menganggap imbalan yang ditawarkan cukup berharga (seperti pengakuan pemberian tugas yang menarik, kenaikan gaji, kesempatan untuk mengikuti program latihan, dll) mereka akan menyanggupi perintah, permohonan dan arahan. Mesti demikian perlu dicatat bahwa imbalan yang tidak memiliki nilai bagi individu tidak akan mempengaruhi perilaku.
3)   Kekuasaan Koersif (Coercive Power). Kebalikan dari kemampuan memberi imbalan yaitu kekuasaan untuk menghukum. Para pengikut atau bawahan Anda mungkin taat kepada Anda semata-mata karena takut. Seorang manajer bisa menghambat promosi atau mengkritik bawahanyang menunjukkan kinerja buruk. Praktik seperti itu, dan rasa takut yang ditimbulkannya, adalah bentuk kekuasaan koersif. Tentu saja, seseorang tidak perlu berada dalam posisi otoritas untuk menerapkan kekuasaan koersif.
4)  Kekuasaan Keahlian (Export Power). Ketika seseorang memiliki keahlian khusus yang sangat dihargai dalam sebuah organisasi. Para ahli atau pakar dalam suatu bidang tertentu bahkan dapat memiliki kekuasaan meskipun posisi formal mereka dalam organisasi sesungguhnya rendah. Kekuasaan keahlian adalah karakteristik personal, sedangkan kekuasaan legitimasi, kekuasaan imbalan, dan kekuasaan koersif adalah kekuasaan yang diberikan oleh organisasi.
5)  Kekuasaan Referensi (Referent Power). Adalah kekuasaan yang didasarkan pada identifikasi bawahan dengan seorang atasan. Seseorang yang memiliki karisma dikagumi karena karakteristik yang dia miliki. Kekuasaan karisma seseorang merupakan salah satu indikasi kekuasaan referensi. Karisma adalah istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan sosok politikus, artis, ataupun atlet. Meski demikian, beberapa manajer dianggap karismatik oleh bawahannya.
b.      Kekuasaan Struktural
Setiap organisasi memiliki struktur yang khas, dan karenanya, kekuasaan didistribusikan dengan cara-cara yang berbeda. Organisasi-organisasi yang memiliki lapisan manajemen yang beragam dan struktur organisasi yang hierarkis mungkin memiliki distribusi kekuasaan yang mencolok (artinya, manajer-manajer tingkat atas memiliki kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan para manajer dibawahnya). Ada beberapa bentuk kekuasaan struktural lain, yang berasal dari sumber daya, pengambilan keputusan, dan informasi.
1)  Sumber Daya. Kanter memberikan argumentasi yang kuat bahwa kekuasaan bersumber dari (1) akses terhadap sumber daya, informasi, dan dukungan, (2) kemampuan mendapatkan kerja sama yang dibutuhkan guna menyelesaikan tugas. Kekuasaan terjadi ketika seseorang memiliki jalur yang terbuka ke sumber daya uang, sumber daya manusia, tekhnologi, material, pelanggan, dan sebagainya. Dalam organisasi, sumber daya yang vital diturunkan melalui jalur hierarki.
2) Kekuasaan Pengambilan Keputusan. Sejauh mana pengaruh seorang individu atau sebuah subunit terhadap pengambilan keputusan mengindikasikan jumlah kekuasaan yang dimiliki orang atau subunit itu. Seorang individu atau sebuah subunit yang memiliki kekuasaan dapat mempengaruhi jalannyaproses pengambilan keputusan, mempengaruhi alternatif- alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan mempengaruhi kapan keputusan diambil.
3)  Kekuasaan Informasi. Pengetahuan dianggap oleh beberapa pakar sebagai suatu hal yang jauh lebih bermakna dibanding apapun dalam struktur organisasi. Pengetahuan didefinisikan sebagai sebuah kesimpulan analisis yang disarikan dari data informasi. Data mencakup fakta-fakta, angka-angka statistik, dan hal-hal yang spesifik. Informasi adalah konteks dimana data diletakkan.

Menurut opini saya, kekuasaan merupakan kekmampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok. Biasanya kekuasaan berada di puncak tertinggi dalam sebuah struktur bidang manapun. Kekuasaan juga sangat melekat pada sebuah pemimpin.




Daftar Pustaka:
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., dan Matteson, M. T. (2007). Perilaku dan Manajemen      Organisasi. Edisi ketujuh. Jilid 2. Diterjemahkan oleh: Dharma Yuwono, S.Psi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
 Robbins, S. P. (1996). Perilaku Organisasi: Konsep, Kontrovesi, Aplikasi. Jilid 2.   Diterjemahkan oleh: Dr. Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo.
Wahjono, S. I. (2010). Perilaku Organisasi.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yuki, G. A. dan Wexley, K. N. (2005). Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Cetakan ketiga. Diterjemahkan oleh: Drs. Muh. Shobaruddin. Jakarta: Rineka Cipta.
Sarwono, sarlito W. (2005). Psikologi social (psikologi kelompok dan psikologi terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

Sabtu, 24 Oktober 2015

Mempengaruhi Perilaku (4)

Mempengaruhi Perilaku

Model mempengaruhi orang lain dan perannya dalam psikologi manajemen
Cara mempengaruhi orang lain dengan dasar Pendekatan komunikasi persuasi dikemukakan oleh Aristoteles yang menyatakan terdapat 3 pendekatan dasar dalam komunikasi yang mampu mempengaruhi orang lain, yaitu;
1.    Logical argument (logos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan argumentasi data-data yang ditemukan. Hal ini telah disinggung dalam komponen data.
2.   Psychological/ emotional argument (pathos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan efek emosi positif maupun negatif. Misalnya, iklan yang menyenangkan, lucu dan membuat kita berempati termasuk menggunakan pendekatan psychological argument dengan efek emosi yang positif. Sedangkan iklan yang menjemukan, memuakkan bahkan membuat kita marah termasuk pendekatan psychological argument dengan efek emosi negatif.
3.   Argument based on credibility (ethos), yaitu ajakan atau arahan yang dituruti oleh komunikate/ audience karena komunikator mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidangnya. Contoh, kita menuruti nasehat medis dari dokter, kita mematuhi ajakan dari seorang pemuka agama, kita menelan mentah-mentah begitu saja kuliah dari dosen. Hal ini semata-mata karena kita mempercayai kepakaran seseorang dalam bidangnya.
Menurut Burgon & Huffner (2002), terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan agar komunikasi persuasi menjadi lebih efektif. Maksudnya lebih efektif yaitu agar lebih berkesan dalam mempengaruhi orang lain. Beberapa pendekatan itu antaranya;
1.    Pendekatan berdasarkan bukti, yaitu mengungkapkan data atau fakta yang terjadi sebaga bukti argumentatif agar berkesan lebih kuat terhadap ajakan.
2.   Pendekatan berdasarkan ketakutan, yaitu menggunakan fenomena yang menakutkan bagi audience atau komunikate dengan tujuan mengajak mereka menuruti pesan yang diberikan komunikator. Misalnya, bila terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah maka pemerintah dengan pendekatan ketakutan dapat mempersuasi masyarakat untuk mencegah DBD.
3.   Pendekatan berdasarkan humor, yaitu menggunakan humor atau fantasi yang bersifat lucu dengan tujuan memudahkan masyarakat mengingat pesan karena mempunyai efek emosi yang positif. Contoh, iklan-iklan yang menggunakan bintang comedian atau menggunakan humor yang melekat di hati masyarakat.
4.   Pendekatan berdasarkan diksi, yaitu menggunakan pilihan kata yang mudah diingat (memorable) oleh audience/komunikate dengan tujuan membuat efek emosi positif atau negative. Misalnya, iklan rokok dengan dikasi “nggak ada loe nggak rame”

·      Wewenang dan peran wewenang dalam manajemen
Wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan(legitimate power)
Peran wewenang dalam manajemen.
a.       Wewenang lini (Linie authority) yaitu wewenang yang mengalir secara vertikal. Pelimpahan wewenang dari atas ke bawah dan pengawasan langsung oleh pemimpin kepada staf yang menerimanya.
b.       Wewenang staf (Staf authority) yaitu wewenang yang mengalir ke samping yaitu wewenang yang diberikan kepada staf khusus untuk membantu melancarkan tugas staf yang diberikan wewenang lini. Wewenang staf diberikan karena ada spesialisasi adanya tugastugas menegerial yang terkait dengan fungsi staf seperti pengawasan, pelayanan kepada
staf, atau penasihat.

Menurut persepsi saya, kita memerlukan berbagai macam model untuk mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok  untuk mengikuti suatu nasehat atau aturan. Model ini dapat diterapkan dalam semua bidang seperti psikologi manajemen, sebuah perusahaan, maupun marketing. Dalam psikologi manajemen atau sebuah perusahaan juga terdapat wewenang. Wewenang merupakan pimpinan atau kekuasaan dalam sebuah struktur manajemen.



Daftar Pustaka:
Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY
Nasikun. (1993). Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sarwono, sarlito W. (2005). Psikologi social (psikologi kelompok dan psikologi terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Anshoriy. N. (2008)  Dekontruksi kekuasaan. Yogyakarta : PT LKiS pelangi aksara Yogyakarta 
Malayu, H. (2008). Manajemen sumber daya alam manusia. Jakarta: Bumi aksara
Robbins. S. & Judge. T. (2008) prilaku organisasi. Jakarta : salemba empat


Jumat, 16 Oktober 2015

Mempengaruhi Perilaku (pertemuan 3)

Mempengaruhi Perilaku

Definisi Pengaruh
Menurut Uwe Becker, pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang dan tidak terlalu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.
Menurut Norman Barry, pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan agar bertindak dengan cara tertentu, terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
Selain itu menurut Albert R. Roberts & Gilbert pengaruh merupakan wajah kekuasaan yang diperoleh oleh orang saat tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.
Sebagai esensi dari kepemimpinan, pengaruh diperlukan untuk menyampaikan gagasan, mendapatkan penerimaan dari kebijakan atau rencana dan untuk memotivasi orang lain agar mendukung dan melaksanakan berbagai keputusan.
Jika kekuasaan merupakan kapasitas untuk menjalankan pengaruh, maka cara kekuasaan itu dilaksanakan berkaitan dengan perilaku mempengaruhi. Oleh karena itu, cara kekuasaan itu dijalankan dalam berbagai bentuk perilaku mempengaruhi dan  proses-proses mempengaruhi yang timbal balik antara pemimpin dan pengikut, juga akan menentukan efektivitas kepemimpinan.
Jenis-jenis spesifik perilaku yang digunakan untuk mempengaruhi dapat dijadikan jembatan bagi pendekatan kekuasaan dan pendekatan perilaku mengenai kepemimpinan. Sejumlah studi telah mengidentifikasi kategori perilaku mempengaruhi yang proaktif yang disebut sebagai taktik mempengaruhi, antara lain :
1.    Persuasi Rasional
Pemimpin menggunakan argumentasi logis dan bukti faktual untuk mempersuasi pengikut.
2.    Permintaan Inspirasional
Pemimpin membuat usulan yang membangkitkan entusiasme pada pengikut.
3.    Konsultasi
Pemimpin mengajak partisipasi pengikut dalam merencanakan sasaran, aktivitas atau perubahan yang untuk itu diperlukan dukungan dan bantuan pengikut.
4.    Menjilat
Pemimpin menggunakan pujian, rayuan, perilaku ramah-tamah, agar pengikut berada dalam keadaan yang menyenangkan atau mempunyai pikiran  yang menguntungkan  pemimpin tersebut sebelum meminta sesuatu.
5.    Permintaan Pribadi
Pemimpin menggunakan perasaan pengikut mengenai kesetiaan dan persahabatan terhadap dirinya ketika meminta sesuatu.
6.    Pertukaran
Pemimpin menawarkan suatu pertukaran budi baik, memberi indikasi kesediaan untuk membalasnya pada suatu saat nanti, atau menjanjikan bagian dari manfaat bila pengikut membantu pencapaian tugas.
7.    Taktik Koalisi
Pemimpin mencari bantuan dari orang lain untuk mempersuasi pengikut.
8.    Taktik Mengesahkan
Pemimpin mencoba untuk menetapkan validitas permintaan dengan menyatakan kewenangan, hal itu adalah konsisten dengan kebijakan, peraturan, praktik atau tradisi organisasi.
9.    Menekan
Pemimpin menggunakan permintaan, ancaman, seringnya pemeriksaan, atau peringatan-peringatan terus menerus untuk mempengaruhi pengikut melakukan apa yang diinginkan.

Kunci-kunci perubahan perilaku
Perubahan perilaku adalah penerapan yang terencana dan sistematis dari prinsip belajar yang telah ditetapkan untuk mengubah perilaku mal adaptif (Fisher & Gochros, 1975)
Karakteristik perubahan perilaku
a.         Fokus kepada perilaku (prosedur perubahan perilaku dirancang untuk merubah perilaku bukan merubah karakter atau sifat seseorang)
    -Perilaku yang dirubah disebut target perilaku meliputi perilaku yang berlebihan atau perilaku yang tidak/kurang dimiliki oleh orang
b.        Prosedurnya didasarkan kepada prinsip-prinsip behavioral. Perubahan perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip dasar yang awalnya berasal dari penelitian eksperimental dengan binatang dilaboratorium (Skiner, 1938).
c.       Penekanannya kepada peristiwa-peristiwa didalam lingkungan. Perubahan perilaku meliputi asesmen dan perubahan peristiwa-peristiwa lingkungan yang mempunyai hubungan fungsional dengan perilaku
d.      Treatment dilakukan oleh orang didalam kehidupan sehari-hari (Kazdin, 1994). Perubahan perilaku akan lebih efektif  apabila dikembangkan oleh orang-orang yang berada dilingkungan individu yang perilakunya menjadi target perubahan seperti guru, orangtua atau orang lain yang dilatih tentang perubahan perilaku
e.        Pengukuran perubahan perilaku. Melakukan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi dilakukan untuk melihat perubahan perilaku. Asesmen terus dilakukan setelah intervensi untuk melihat apakah perubahan perilaku yang sudah terjadi dapat terjaga.
f.       Mengabaikan peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai penyebab perilaku. Penekanan perubahan perilaku kepada peristiwa-peristiwa lingkungan saat ini yang menjadi penyebab perilaku sebagai dasar pemilihan intervensi perubahan perilaku yang tepat.

g.         Menolak hipotetis yang mendasari penyebab perilaku. Skiner (1974) menjelaskan bahwa dugaan terhadap penyebab yang mendasari perilaku tidak pernah dapat diukur atau dimanipulasi untuk menunjukkan hubungan fungsional perilaku.


Daftar Pustaka:

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY
Nasikun. (1993). Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Anshoriy. N. (2008)  Dekontruksi kekuasaan. Yogyakarta : PT LKiS pelangi aksara Yogyakarta 
Malayu, H. (2008). Manajemen sumber daya alam manusia. Jakarta: Bumi aksara
Robbins. S. & Judge. T. (2008) prilaku organisasi. Jakarta : salemba empat

k