tugas psikoterapi minggu 4
. Bagaimana cara terapis untuk
menjalankan tujuan dari terapi perspektif interatip sehingga dapat membantu
konseli mengembangkan integritasinya pada level tertinggi, ditandai adanya
aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan ? (jelaskan dengan contoh kasus)
Jawaban
: Dengan memberikan motivasi kepada klien yang mengalami permasalahan yang
tidak dapat diselesaikan dengan sendiri dan membantu klien menemukan inti
permasalahan dengan memberikan pilihan jalan keluar agar klien dapat memilih
dan mempertimbangkan sesuai dengan dirinya. Dan terapi memberikan apresiasi
kepada klien atas perkembangan yang diperoleh klien dalam
penyelesaian-penyelesaian masalah yang dapat diatasi klien.
Contoh kasus -> Mr X adalah seorang pria
lajang berusia 35 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita
gangguan distimik selama beberapa tahun. Setelah dilakukan eksplorasi dan
interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X
tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi
ketika dirinya berusia sekitar 20 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan
karir yang menguntungkan di industri keuangan untuk menjadi guru sekolah
tinggi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan
interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan
pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima
terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu
dan berbicara kepada mereka. Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati
nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya.
Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan
reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam
proses berkabung terputus dengan orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda
kemarahan pada ibu dan ayahnya, rasa bersalah dan rasa malu karena telah
menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis bahwa mereka akan datang
suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan pilihannya. Semua emosi
tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses defensif aktif, di antaranya
adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah kemarahannya melawan dirinya
sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar pada dirinya sendiri menjadikan
dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan
bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk
mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi
dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang
membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi
kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan
klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan
oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya.
Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi
asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan
cara ini Mr. X sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun
meningkat secara signifikan. Ia mulai memiliki waktu yang lebih lama di mana
harga dirinya dipertahankan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus
internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika
mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas
penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi
restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif
yang membuat klien lebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam
bawah sadarnya. Mr X memperoleh lebih banyak akses untuk menemukan alasan atas
kemarahan dan perasaan atas penolakan yang dialaminya, rasa bersalah dan rasa
kegagalan pun menjadi sangat berkurang.
Namun, ia juga mengalami peningkatan kerinduan
terhadap orang tuanya dalam hal cinta dan persetujuan mereka. Perasaan ini
membimbingnya untuk menghubungi orang tuanya, tapi dia menolak dengan cara yang
dingin dan kejam ketika ia diminta untuk kembali ke pekerjaan lamanya.
Pengalaman ini tentu saja sepenuhnya mengecewakan bagi klien, tetapi
membantunya untuk memulihkan serangkaian kenangan dari masa kecilnya yang
semuanya berkaitan dengan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan orang
tuanya untuk sukses di bagian akademik, sosial, dan atletik. Kenangan ini
bergema dalam dirinya saat ini dan menumpuk dalam pikiran serta emosinya.
Kenangan ini dieksplorasi selama beberapa minggu pertama sesi terapi tanpa
banyak kemajuan, tujuannya agar dapat menghubungkan dirinya dengan perasaan
bahwa dirinya dicintai.
2. Bagaimana
cara terapis mengetahui metode yang tepat untuk memilih teknik yang akan
dilakukan dalam melakukan terapi bermain? Jelaskan dengan contoh kasus!
Jawaban
: Dengan cara memberikan dan memperkenalkan beberapa permainan kepada klien
yang bertujuan untuk mengetahui permainan yang tepat terhadap perkembangan yang
baik untuk klien. Seperti kasus anak autisme terapis berpura-pura memainkan
boneka pada terapi ini klien terlihat tidak perduli dan tidak menhiraukan
kemudia terapis menggangti nya dengan permainnan yang lainnya pada kasus ini
klien lebih berminat pada permainan pasir yang dimana klien ikut bermain pasir
dengan terapis dan mencoba membuat bentuk bentuk dengan menggunakan peralatan
plastik permainan anak seperti skop, ember, dll
3. Bagaimana cara
afektif yang harus dilakukan terapis dalam metode teknik keluarga? jelaskan
dengan contoh kasus!
Jawaban :
Pada kasus anak yang memiliki permasalahan mogok sekolah dan pemakai narkoba,
pada kasus ini terapis mengadakan pertemuan antara klien tanpa memberitahu
identitas yang sebenarnya yang disusul dengan keluarga klien karena dalam
terapi keluarga orang luar kemungkinan akan sulit diterima. Pada kasus
ini terapis menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di
komunikasi. Dan terjadilah diskusi antar satu keluarga yang dimana klien sulit
untuk mengeluarkan pendapatnya kedalam satu keluarga sehingga tidak terjadinya
interaksi yang baik diantara orang tua dan anak dan menunjukkan permasalahan
dalam hal komunikasi yang menyebabkan klien untuk mencari pelarian pada
lingkungan yang kurang baik. Kemudian Terapis memutuskan untuk mengarahkan
situasi terapi pada diskusi dalam satu keluarga agar dapat saling terbuka
antara orang tua dan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar