Sabtu, 18 Juni 2016

PSIKOTERAPI 4

tugas psikoterapi minggu 4
   . Bagaimana cara terapis untuk menjalankan tujuan dari terapi perspektif interatip sehingga dapat membantu konseli mengembangkan integritasinya pada level tertinggi, ditandai adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan ? (jelaskan dengan contoh kasus)
Jawaban         : Dengan memberikan motivasi kepada klien yang mengalami permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan sendiri dan membantu klien menemukan inti permasalahan dengan memberikan pilihan jalan keluar agar klien dapat memilih dan mempertimbangkan sesuai dengan dirinya. Dan terapi memberikan apresiasi kepada klien atas perkembangan yang diperoleh klien dalam penyelesaian-penyelesaian masalah yang dapat diatasi klien.
Contoh kasus -> Mr X adalah seorang pria lajang berusia 35 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimik selama beberapa tahun. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 20 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri keuangan untuk menjadi guru sekolah tinggi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu dan berbicara kepada mereka. Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya.
Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada ibu dan ayahnya, rasa bersalah dan rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara signifikan. Ia mulai memiliki waktu yang lebih lama di mana harga dirinya dipertahankan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klien lebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya. Mr X memperoleh lebih banyak akses untuk menemukan alasan atas kemarahan dan perasaan atas penolakan yang dialaminya, rasa bersalah dan rasa kegagalan pun menjadi sangat berkurang.
Namun, ia juga mengalami peningkatan kerinduan terhadap orang tuanya dalam hal cinta dan persetujuan mereka. Perasaan ini membimbingnya untuk menghubungi orang tuanya, tapi dia menolak dengan cara yang dingin dan kejam ketika ia diminta untuk kembali ke pekerjaan lamanya. Pengalaman ini tentu saja sepenuhnya mengecewakan bagi klien, tetapi membantunya untuk memulihkan serangkaian kenangan dari masa kecilnya yang semuanya berkaitan dengan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya untuk sukses di bagian akademik, sosial, dan atletik. Kenangan ini bergema dalam dirinya saat ini dan menumpuk dalam pikiran serta emosinya. Kenangan ini dieksplorasi selama beberapa minggu pertama sesi terapi tanpa banyak kemajuan, tujuannya agar dapat menghubungkan dirinya dengan perasaan bahwa dirinya dicintai.

2.      Bagaimana  cara terapis mengetahui metode yang tepat untuk memilih teknik yang akan dilakukan dalam melakukan terapi bermain?  Jelaskan dengan contoh kasus!
Jawaban         : Dengan cara memberikan dan memperkenalkan beberapa permainan kepada klien yang bertujuan untuk mengetahui permainan yang tepat terhadap perkembangan yang baik untuk klien. Seperti kasus anak autisme terapis berpura-pura memainkan boneka pada terapi ini klien terlihat tidak perduli dan tidak menhiraukan kemudia terapis menggangti nya dengan permainnan yang lainnya pada kasus ini klien lebih berminat pada permainan pasir yang dimana klien ikut bermain pasir dengan terapis dan mencoba membuat bentuk bentuk dengan menggunakan peralatan plastik permainan anak seperti skop, ember, dll

3.      Bagaimana cara afektif yang harus dilakukan terapis dalam metode teknik keluarga? jelaskan dengan contoh kasus!

Jawaban         : Pada kasus anak yang memiliki permasalahan mogok sekolah dan pemakai narkoba, pada kasus ini terapis mengadakan pertemuan antara klien tanpa memberitahu identitas yang sebenarnya yang disusul dengan keluarga klien karena dalam terapi keluarga orang luar kemungkinan akan sulit diterima.  Pada kasus ini terapis menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di  komunikasi. Dan terjadilah diskusi antar satu keluarga yang dimana klien sulit untuk mengeluarkan pendapatnya kedalam satu keluarga sehingga tidak terjadinya interaksi yang baik diantara orang tua dan anak dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi yang menyebabkan klien untuk mencari pelarian pada lingkungan yang kurang baik. Kemudian Terapis memutuskan untuk mengarahkan situasi terapi pada diskusi dalam satu keluarga agar dapat saling terbuka antara orang tua dan anak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar